Opposite
Orang
itu senang sekali mengunjungiku, hampir tiap hari aku bisa melihatnya
mendekatiku, melihatku, dan kadang sesekali dia membisiki jiwaku, seolah dia
berbicara bahasa yang sama denganku. Bahasa yang selalu diucapkan dengan
gerakan bibir, bukan tangan. Dia mengatakan bahwa angin tidak berbahasa, angin
hanya berbisik, tapi bagiku, bahasa angin sangat indah, angin berbahasa seperti
aku. Angin sering berbicara denganku, mengatakan hal-hal lucu tentang langit.
Beberapa
kali dia menegurku, menanyakan keadaanku dengan suara yang sumbang mengikuti
caraku berbicara. Dia menuliskan beberapa kata di atas tanah menggunakan ujung
jarinya, seolah berusaha menjelaskan keingintahuannya atas diriku dan duniaku. Sangat
lucu melihatnya berbicara dengan bahasa seperti itu, aku menyukainya. Aku menyukai
kebingungannya atas suaraku.
Hari
ini, di hari ke seratus sekian, dia kembali datang, tapi tidak seperti
hari-hari sebelumnya ketika dia mendatangiku, kali ini dia tidak tersenyum.
Wajah sedih nya terlihat seperti awan mendung di hari yang cerah. Aku tidak
menyukainya. Aku kembali teringat akan semua kisah yang pernah dia ceritakan
padaku. Dia pernah bercerita tentang A, B, C, D, E, F, G, H, I, J, K, L, M, dan
N. Begitu banyak kisah untuk orang yang tidak memiliki sayap sepertinya. Dia selalu
menyombongkan kakinya, dia berkata bahwa berjalan dengan kaki itu menyenangkan,
sama menyenangkannya dengan gemericik embun saat fajar. Aku tidak terlalu
memahami maksudnya.
Dia
diam, tidak mengajakku berbicara atau menggambarkan bahasanya untukku seperti
yang biasa dia lakukan. Dia hanya termenung disana dan duduk. Dalam diamnya,
aku melihat bunga-bunga berguguran, angin tidak berhembus. Jiwaku menjadi
terluka dan kesepian. Dia tidak memberikan air yang cukup untuk diriku hari
ini. Setiap lekuk kesedihan di wajahnya, seolah seperti kilat yang menyambar
layanganku di angkasa. Menyakitkan.
Mungkin,
untuk malam yang beku kali ini, aku mengingat betapa penting suaranya untuk
menjaga kupingku dari ketulian, dan betapa penting pandangannya untuk
membebaskanku dari kebutaan. Aku kembali menoleh kearahnya, dia bergerak,
berdiri. Pumdaknya yang lebar tidak memberiku ruang untuk mendekatinya, tidak
seperti sebelumnya. Dia berjalan menjauh, dan menghilang di balik kabut biru
dari malam yang tidak berbulan. Mungkin dia terlalu lelah hari ini, terlalu
lelah mempelajari bahasaku. Mungkin jika saja dia memberi tahu tentang tempat
tinggalnya, aku akan datang sesekali dan bercerita padanya, tapi aku rasa dia
tidak mempercayaiku sebanyak aku mempercayainya.
Aku
ingat saat dia memberiku apel, dia berusaha menyuruhku menggigitnya,
menelannya, dia berkata bahwa itu bisa membuatku hidup dan tidak mati
kelaparan. Dia mengajarkanku tentang bentuk bulan yang bulat, padahal seumur
hidupku, aku melihat bulan sepeti garis melekuk yang tajam. Dia juga bercerita
tentang hujan, dia mengatakan bahwa hujan bisa membuatmu kedinginan, awalnya
aku tidak mengerti, karena selama ini aku melihat hujan seperti music yang
membuatku menari, dan mungkin itu akan tetap menjadi hal yang tidak bisa aku
mengerti sekuat apapun aku berusaha.
Mungkin
esok dia akan kembali lagi kesini. Mengajarkanku lebih banyak hal. Dia pernah
berkata bahwa mungkin suatu hari dia akan membuatkanku sebuah rumah. Rumah adalah
tempat berlindung, katanya. Aku tidak mengerti, bukankah kita terbiasa
berlindung di akar-akar pohon? Merasa aman di bawah pohon besar yang
kuat?entahlah. Dia mungkin akan mengajarkanku bertapa pentingnya memiliki
rumah. Suatu hari, mungkin dia akan benar-benar kembali membuatkan rumah
untukku.