Reborn
Sudah lama aku tidak menikmati
pagi seperti pagi ini, apa yang berbeda ??
entahlah.. mungkin hari ini
matahari tidak berwarna ke-emasan, mungkin hari ini matahari berwarna sedikit
ungu atau pink, iya mungkin saja begitu. Cahaya yang masuk ke dalam kamarku
juga seperti itu, bukan warna emas, tapi sedikit berwarna pink, terlihat di
sudut kasur.
Aku berani bertaruh, hari ini
pasti bukan hari normal seperti hari-hari yang sebelumnya, ini bukan hari
minggu, atau senin atau selasa, rabu, kamis, jumat ataupun sabtu. Cuacanya
sejuk, sejuk seperti jeruk yang segar diambil dari dalam lemari pendingin,
sepertinya, ini bulan april, atau mungkin bulan mei.
Aku ingat, sepertinya kemarin
aku marah. Sangat marah hingga aku lupa untuk apa aku marah sebesar itu. Kemarin
ya? Mungkin dua hari yang lalu, atau minggu lalu, entahlah aku tidak ingat. Kau
tahu? Saat hatimu marah semenit, kau akan kehilangan ingatan sehari. Mungkin kemarin
aku marah terlalu banyak, hingga aku hilang ingatan beberapa hari.
Aku kembali menghela nafas. Warna
pink ini mengingatkanku pada seseorang. Seseorang yang sepertinya penting. Siapa
namanya? Aku tidak ingat.
“AAHH!!” Aku kembali menghela
nafas kesal. Seandainya kemarin aku marah tidak terlalu lama, mungkin aku ingat
banyak hal hari ini.
Dari kejauhan kudengar langkah
kaki. Pelan tapi berat. Makin mendekat dan akhirnya pintu kamarku terbuka. Manusia
masuk, tersenyum padaku.
“hai.. kau sudah
bangun?” suara
lembut itu bertanya padaku. Kulihat wajahnya seksama, diakah manusia pink yang
aku ingat? Bukan.
“ya.. aku sudah bangun.. baru
saja” jawabku dengan lirih. Manusia itu mendekatiku. Wajahnya yang lembut
mengingatkanku pada permen kapas, sekali lagi aku yakin, dia bukan pink.
“Bagaimana
perasaanmu? Kau ingat padaku, kan?” dia kembali bertanya, masih dengan lembut. Aku
menjawabnya dengan gelengan kepala. Tidak, aku tidak ingat padamu, jawabku
dalam hati. Awalnya, mungkin aku pikir aku mengenalnya. Tapi tidak.
“Namaku candy.. aku
yang selalu mendatangimu tiap hari bahkan saat kamu tertidur. Kau tahu? Kau tidur
banyak sekali.” Katanya dengan sedikit tertawa. Candy? Pantas
saja dia mengingatkanku pada permen kapas.
“Ya.. kau sering
membandingkan aku dengan permen kapas. Padahal aku adalah manusia yang padat.”
Dia melanjutkan ucapannya dengan tawa yang lebih renyah. Seolah dia mampu
membaca pikiranku. Bagaimana dia bisa tahu tentang permen kapas? Bukankah aku
sedang berbicara di dalam otakku?. Dia mendekatiku, lalu duduk di seberang
kasurku. Aku mundur dan mengikutinya duduk, tepat di depannya, di kasurku.
“Apa yang kau rasakan
tadi saat kau terbangun? Apa yang kau ingat?”
“Warna pink.. aku melihat
matahari pink dari sana..” kataku sambil menunjuk jendela. “Aku juga ingat,
kemarin aku marah..” dia mengamatiku dengan seksama, wajahnya serius, tidak
tertawa.
“Apa yang membuatmu
marah kemarin ?”
“Aku tidak ingat.”
“mm….”
dia terdiam menunduk lama sekali. Lalu dia kembali menatapku dan melanjutkan
kalimatnya. “Kemarin kau marah, bukan kemarin. Sekitar
dua bulan yang lalu. Kau marah, kamu beradu argument dengan memori mu. Kau membentaknya
karena dia selalu mengingatkan tentang hal-hal yang kau benci.. Kau marah,
seperti biasa, kau selalu marah.” Katanya sambil menarik nafas berat. Aku tidak
menyukainya. Aku tidak suka dengan perbincangan ini.
“Kenapa aku marah dengan
memori? Lalu mengapa memori memaksaku mengingat hal-hal yang aku tidak suka? Itu
sama saja dia membuat aku marah. Dia yang bersalah.” Kataku dengan sedikit nada
tinggi.
“Tidak
ada yang memaksamu mengingat hal-hal yang tidak kau sukai.. Memori hanya
membantumu menerima..” Dia kembali berkata lembut. Seolah berusaha
membuatku tenang dengan suaranya.
“Menerima apa??!!” Kataku
dengan tetap bernada tinggi.
“Menerima
bahwa matahari berwarna abu-abu, bukan pink.. menerima bahwa kau marah, bukan
sedang bercerita.. menerima bahwa embun itu tidak seperti jeruk dingin..”
Katanya lagi.
“Apa masalahmu?!” Aku semakin
kesal. Seolah-olah dia mengingatkan aku bahwa aku tidak normal, atau mungkin
sedikit gila. Bahwa yang aku rasakan adalah kesalahan. “Matahari memang
berwarna pink, apa masalahmu??!!” aku berteriak.
“Kau kembali marah..”
Dia memegang tanganku. Ya, aku marah. Apa masalahnya?. Dia masih memegang
tanganku. Untuk beberapa saat aku tidak terlalu marah lagi. Perlahan aku
mengantuk. Tangannya seperti obat tidur.
“Kau
akan kembali tertidur.. selamat tidur..” Katanya padaku. Aku tidak
menjawab, aku terlalu mengantuk. Aku hanya ingat sedikit hal, mereka semua
memikirkan warna terbalik, tidak seperti yang aku pikirkan. Aku mengantuk,
makin mengantuk tiap detiknya. Aku menoleh ke arah jendela, matahari berwarna
pink, aku tidak gila, mereka lah yang sebenarnya gila. Mereka tidak realistis.